Cat Perak di Badan, Luka Kelam di Hati: Kisah Pilu “Manusia Silver” di Persimpangan Mojokerto
Mojokerto– Di balik gemerlap kota dan deru kendaraan yang tak henti, ada pemandangan yang telah menjadi potret buram di sudut-sudut Kota Mojokerto. Mereka adalah “manusia silver,” para pemuda yang menghabiskan hari-harinya di persimpangan jalan, menjadi patung hidup yang meminta belas kasihan.

Baca Juga : Komitmen Pemerataan Pembangunan, Pemkab Mojokerto Salurkan Bantuan Keuangan Ke 259 Desa
Dengan tubuh setengah telanjang dilabur cat berwarna perak, mereka menyapa pengendara yang berhenti di lampu merah. Sorot mata lesu dan gerakan statis mereka adalah sebuah pertunjukan keterpaksaan, sebuah drama yang diperagakan demi sesuap nasi. Seperti yang masih dapat disaksikan di Perempatan Sekarsari, Kota Mojokerto, aktivitas ini bagai lingkaran yang tak kunjung putus.
Toni: Mimpi Sekolah yang Terkubur Ekonomi
Potret Di balik lapisan cat silver yang mengkilap, tersembunyi wajah Toni, seorang remaja yang seharusnya masih mengeyam pendidikan di bangku sekolah. Sudah setahun lebih, pemuda ini memilih—atau lebih tepatnya, dipaksa—untuk mengubur mimpinya dan menjadi “manusia silver.”
“Aku masih mau sekolah, tapi keadaan tidak memungkinkan. Keterbatasan ekonomi keluarga akhirnya membawa saya ke sini,” ujarnya dengan suara lirih, mencoba menjelaskan keputusan berat yang harus diambil di usianya yang masih sangat belia. Bagi Toni, cat perak di tubuhnya bukanlah kostum panggung, melainkan simbol kepahitan yang harus ia tanggung setiap hari.
Kejar-kejaran dengan Satpol PP: Sebuah Permainan Kucing dan Tikus
Kehidupan sebagai “silverman” tak lepas dari bayang-bayang operasi penertiban. Toni dan kawan-kawannya kerap menjadi sasaran sergapan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Mojokerto. Aktivitas mereka dianggap melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang melarang pengemis dan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum.
Namun, penertiban ini bagai memutuskan ujung rantai tanpa menyentuh akar masalahnya. Usai ditertibkan, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali muncul, bukan karena ketidakpatuhan, tetapi karena ketiadaan pilihan lain.
Lahan Kerja yang Sempit dan Dilema yang Tak Berujung
Pertanyaan besar pun mengemuka: mengapa mereka bertahan pada profesi yang penuh ketidakpastian dan risiko ini?
Jawaban Toni sederhana namun menyiratkan keputusasaan yang dalam. “Ya, bagaimana lagi? Kami sih maunya kerja yang halal dan layak, tetapi lahan pekerjaan yang sesuai bagi kami seperti kami sangat sulit ditemui di kota ini,” keluhnya.
Pernyataan itu seperti tamparan keras. Di satu sisi, ada aturan yang harus ditegakkan untuk menciptakan kota yang tertib. Di sisi lain, ada realita keras tentang sempitnya lapangan pekerjaan bagi kaum muda yang putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan memadai. Mereka terjebak dalam dilema: melanggar hukum untuk bertahan hidup atau menaati aturan dengan perut yang keroncongan.
Keberadaan “manusia silver” di persimpangan Kota Mojokerto adalah cermin dari masalah sosial yang lebih kompleks. Mereka bukan sekadar pengganggu ketertiban, melainkan korban dari sebuah rantai masalah yang tak kunjung terpecahkan: kemiskinan, putus sekolah, dan pengangguran. Hingga solusi nyata ditemukan, wajah-wajah perak itu akan tetap menjadi pengingat pilu di tengah hiruk-pikuk kota.





