Hanya 90 Hari Memimpin: Mengenal Raden Soetimbul, Wali Kota Mojokerto dengan Masa Jabatan Tersingkat yang Penuh Misteri
Mojokerto- Dalam catatan sejarah pemerintahan Kota Mojokerto, tersimpan satu nama dengan rekor yang mungkin tak akan terpecahkan: Raden Soetimbul Kertowisastro. Ia tercatat sebagai Wali Kota dengan masa bakti tersingkat, hanya tiga bulan atau sekitar 90 hari. Namun, di balik singkatnya masa jabatan tersebut, tersembunyi kisah tentang seorang politikus-birokrat ulung yang kiprahnya justru jauh lebih besar dari sekadar angka.

Baca Juga : Episentrum Semangat 46 Ketika Alun-Alun Mojokerto Menjadi Panggung Kemerdekaan
Transisi Kekuasaan yang Kilat
Perjalanan singkat Soetimbul di pucuk pimpinan Kota Mojokerto dimulai pada 1 Mei 1954, kala ia secara resmi dilantik menggantikan pendahulunya, R. Soedarsono Poespowardojo. Pengangkatan ini disambut baik banyak kalangan, mengingat reputasinya yang sudah mapan.
Namun, seperti sebuah plot twist dalam drama politik, baru saja ia membenahi meja kerjanya, sebuah keputusan dari atas memanggilnya. Tepat pada 1 Juli 1954, hanya selang tiga bulan, Soetimbul harus melepas jabatannya karena dipindahtugaskan ke Kota Pasuruan untuk menduduki posisi yang sama. Kursi Wali Kota Mojokerto kemudian diteruskan oleh R. Arsid Kromohadisoerjo, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Sementara.
Di Balik Layar: Otak Politik Mojokerto
Lantas, apakah kepemimpinan 90 hari ini bisa dianggap gagal? Sama sekali tidak. Menurut sejarawan lokal Mojokerto, Ayuhanafiq (yang akrab disapa Yuhan), memandang Soetimbul hanya dari durasi jabatannya adalah kekeliruan besar.
“Secara administratif, ia hanya tiga bulan menjabat. Namun, pengaruhnya sudah membangun fondasi politik di Mojokerto jauh sebelumnya dan terus terasa lama setelah kepergiannya. Ia adalah sosok penting, otak di balik mesin politik lokal saat itu,” tegas Yuhan.
Jejak kekuatan Soetimbul sesungguhnya terletak pada perannya sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Mojokerto sejak Februari 1950—jabatan yang ia pegang selama empat tahun sebelum menjadi wali kota. Ini berarti, saat dilantik sebagai wali kota, ia adalah seorang pemimpin partai yang berkuasa sekaligus seorang wedono (jabatan birokrasi tinggi).
Dalam menjalankan PNI, ia dikelilingi oleh tokoh-tokoh pilihan seperti Djoemadi Moespan, Banoe Oemar, dan Mr. Trimaningprodjo. Kombinasi peran ganda sebagai birokrat dan politisi ini merupakan hal yang langka dan berisiko tinggi pada era 1950-an.
“Soetimbul adalah contoh awal seorang ‘political technocrat’. Ia menggabungkan karier birokrasi murni dengan politik praktis dengan sangat luwes. Kemampuan ini yang membuatnya punya pengaruh kuat, jauh melampaui titel formalnya,” papar Yuhan.
Jejak Karier Seorang Birokrat Elite
Prestasi Soetimbul bukanlah sebuah kebetulan. Pria kelahiran Blitar, 10 Maret 1911 ini adalah lulusan MOSVIA (Middlebare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Probolinggo pada 1934. MOSVIA adalah sekolah elite bagi calon ambtenaar (pegawai negeri) pribumi pada masa Hindia Belanda. Hanya orang-orang terpandang dan pintar yang bisa mengenyam pendidikan di sini.
Kariernya melesat cepat. Ia memulai dari posisi sebagai Mantri Polisi, lalu naik menjadi Camat di berbagai wilayah seperti Papar, Gedangan, dan Taman. Keberhasilannya bertahan dan tetap aktif dalam pemerintahan lokal selama turbulensi masa pendudukan Jepang dan perang revolusi kemerdekaan menunjukkan ketangguhan dan dedikasinya yang tinggi pada negara.
Puncaknya, ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia, Soetimbul ditempatkan di Mojokerto sebagai Wedono—jabatan setingkat kepala wilayah yang sangat diperhitungkan. Dari sinilah ia kemudian diangkat menjadi Wali Kota, sebelum akhirnya dipindahtugaskan ke Pasuruan.
Warisan yang Tak Terukur oleh Waktu
Misteri mengapa ia dipindahkan begitu cepat masih menyisakan tanda tanya. Apakah ini merupakan strategi pemerintah pusat untuk memperkuat Kota Pasuruan? Ataukah dinamika politik lokal yang rumit? Yang pasti, kepindahannya ini menegaskan bahwa ia dianggap sebagai aset berharga yang dibutuhkan di mana saja.
Kisah Raden Soetimbul mengajarkan pada kita bahwa dalam menilai sejarah, kita tidak boleh terjebak pada angka dan durasi. Signifikansi seorang pemimpin diukur dari pengaruh, jaringan, dan strategi yang ia bangun, yang seringkali bekerja di balik layar, jauh sebelum dan setelah ia menduduki sebuah jabatan formal. Ia mungkin pemimpin yang singkat masa jabatannya, tetapi sama sekali bukan yang ringan kontribusinya bagi mozaik sejarah Mojokerto.

 
 
 
     
     
   
											 






 
										 
										 
										