Mojokerto di Persimpangan Sejarah: Antara Modernisasi dan Warisan, Ini Analisis Mendalam Akademisi Soal Wacana Pemindahan Ibu Kota
Mojokerto- Sebuah wacana strategis menggema di seantero Kabupaten Mojokerto, berpotensi mengubah peta pemerintahan dan perekonomian daerah untuk puluhan tahun ke depan. Adalah rencana Pemindahan Ibu Kota pusat pemerintahan dari lokasinya yang lama menuju sebuah area baru di Kecamatan Mojosari yang kini menjadi buah bibir sekaligus bahan perdebatan publik.

Baca Juga : Pemkab Mojokerto Pastikan Tarif PBB-P2 Tidak Naik
Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra, telah mengambil langkah konkret dengan melakukan koordinasi intensif dengan Kementerian Pertanian (Kementan) mengenai rencana tukar guling aset. Lokasi aset milik Kementan di Mojosari menjadi bidikan utama untuk diubah menjadi jantung birokrasi dan administrasi baru kabupaten yang sarat dengan nilai sejarah ini.
Lantas, bagaimanakah menyikapi rencana besar ini? Apakah ia hanya sebuah grand project simbolis, atau justru sebuah lompatan besar menuju Mojokerto yang lebih maju dan merata? Dr. Ahmad Hasan Afandi, S.IP., M.Si., seorang Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto, memberikan pandangan mendalamnya.
Sebuah Peluang Emas: Membuka Pusat Pertumbuhan Baru
Bagi Hasan, wacana ini ibarat dua sisi mata uang yang memiliki masa depan sangat gemilang namun juga menyimpan tantangan yang tidak kecil. Di satu sisi, pemindahan ibu kota adalah langkah progresif dan sebuah keniscayaan dalam modernisasi serta pemerataan pembangunan.
“Secara konsep, ini adalah keputusan strategis yang brilliant. Selama ini, perkembangan kota seringkali terpusat dan membuat wilayah lain tertinggal. Pemindahan ini bisa menjadi katalisator, sebuah trigger untuk membuka pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah yang sebelumnya mungkin kurang tersentuh,” papar Hasan.
Ia menegaskan, dampak multiplier effect-nya akan sangat terasa jika dan hanya jika didukung dengan kesiapan infrastruktur yang mumpuni. “Pembangunan jalan penghubung antarkecamatan yang lebar dan nyaman, jaringan internet berkecepatan tinggi, serta perencanaan tata ruang yang adaptif dan visioner adalah prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar,” tegasnya.
Tantangan dan Bayang-Bayang Risiko: Stagnansi dan Disrupsi Pelayanan
Namun, di balik canvas peluang yang indah tersebut, Hasan dengan cermat mengingatkan sejumlah titik kritis yang tidak boleh diabaikan. Tantangan terbesar justru bukan pada membangun gedung baru, melainkan pada mengelola transisi dan dampak sosial-ekonominya.
“Risiko jangka pendek yang paling nyata adalah disrupsi atau gangguan pelayanan publik. Bagaimana nasib ratusan bahkan ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang harus beradaptasi dengan lokasi baru? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dengan masyarakat, terutama lansia atau mereka yang tinggal di sekitar pusat lama, yang selama ini terbiasa mengurus administrasi di lokasi yang mudah dijangkau?” ujarnya memaparkan kekhawatiran.
Titik risiko kedua adalah ancaman stagnansi ekonomi di kawasan pusat kota lama. “Kita tidak boleh memindahkan ‘vitalitas’. Jika semua kantor pindah tanpa strategi lanjutan, kawasan komersial dan usaha-usaha kecil yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas kantor pemerintahan lama bisa kolaps. Ini bisa memicu kemandegan ekonomi dan menciptakan urban decay atau kawasan yang mati dan terlantar,” beber Dosen UNIM tersebut.
Jalan Tengah: Kajian Komprehensif dan Partisipasi Publik
Lalu, apa solusinya? Hasan menekankan bahwa kunci utamanya terletak pada proses, bukan sekadar hasil. Pertama, ia mendorong agar Pemda melakukan Kajian Kelayakan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang benar-benar menyeluruh dan independen. “Kajiannya harus multidimensi, tidak hanya teknis dan finansial, tetapi juga menyentuh analisis sosial, budaya, dan tentu saja ekonomi. Harus ada pemetaan yang jelas tentang siapa yang akan terdampak dan bagaimana mitigasinya,” jelasnya.
Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat dan pelaku usaha. “Pemerintah tidak boleh jalan sendiri. Dialog dengan pedagang sekitar kantor lama, dengan komunitas, dengan para ahli, dan dengan warga biasa adalah keharusan. Mereka adalah pihak yang paling merasakan dampaknya.
Legacy Sang Bupati: Lebih Dari Sekadar Proyek Fisik
Terakhir, Hasan mengingatkan bahwa proyek sebesar ini jangan sampai terjebak pada euforia pembangunan fisik semata. Ini harus menjadi momentum untuk melakukan lompatan dalam hal transformasi birokrasi dan pelayanan digital.
“Bayangkan, ibu kota baru harus menjadi representasi dari pemerintahan modern. Manfaatkan momen ini untuk mengakselerasi pelayanan berbasis digital, sistem paperless, dan integrasi data yang membuat pelayanan menjadi lebih cepat dan efisien, dari mana saja,” sarannya.
Ia menutup dengan pesan yang berorientasi pada masa depan, Jangan jadikan ini sekadar proyek lima tahunan. Ini adalah legacy bagi Kepemimpinan Bupati Muhammad Al Barra.
Wacana telah bergulir. Kini, bola berada di tangan pemerintah dan seluruh masyarakat Mojokerto untuk bersama-sama menulis babak baru dalam sejarah daerah mereka.






